Tuesday, 17 February 2015

Peranan Sitokinin Untuk Pertumbuhan Tanaman

Sitokinin

Sitokinin merupakan ZPT yang mendorong pembelahan (sitokinesis). Beberapa macam sitokinin merupakan sitokinin alami (misal : kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya merupakan sitokinin sintetik. Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada batang.
Ahli biologi tumbuhan juga menemukan bahwa sitokinin dapat meningkatkan pembelahan, pertumbuhan dan perkembangan kultur sel tanaman. Sitokinin juga menunda penuaan daun, bunga dan buah dengan cara mengontrol dengan baik proses kemunduran yang menyebabkan kematian sel-sel tanaman. Penuaan pada daun melibatkan penguraian klorofil dan protein-protein, kemudian produk tersebut diangkut oleh floem ke jaringan meristem atau bagian lain dari tanaman yang membutuhkannya.
Daun kacang jogo (Phaseolus vulgaris) yang ditaruh dalam wadah berair dapat ditunda penuaannya beberapa hari apabila disemprot dengan sitokinin. Sitokinin juga dapat menghambat penuaan bunga dan buah. Penyemprotan sitokinin pada bunga potong dilakukan agar bunga tersebut tetap segar.
Sebagian besar tumbuhan memiliki pola pertumbuhan yang kompleks yaitu tunas lateralnya tumbuh bersamaan dengan tunas terminalnya. Pola pertumbuhan ini merupakan hasil interaksi antara auksin dan sitokinin dengan perbandingan tertentu.
Sitokinin diproduksi dari akar dan diangkut ke tajuk, sedangkan auksin dihasilkan di kuncup terminal kemudian diangkut ke bagian bawah tumbuhan. Auksin cenderung menghambat aktivitas meristem lateral yang letaknya berdekatan dengan meristem apikal sehingga membatasi pembentukan tunas-tunas cabang dan fenomena ini disebut dominasi apikal. Kuncup aksilar yang terdapat di bagian bawah tajuk (daerah yang berdekatan dengan akar) biasanya akan tumbuh memanjang dibandingkan dengan tunas aksilar yang terdapat dekat dengan kuncup terminal. Hal ini menunjukkan ratio
sitokinin terhadap auksin yang lebih tinggi pada bagian bawah tumbuhan.
Interaksi antagonis antara auksin dan sitokinin juga merupakan salah satu cara tumbuhan dalam mengatur derajat pertumbuhan akar dan tunas, misalnya jumlah akar yang banyak akan menghasilkan sitokinin dalam jumlah banyak. Peningkatan konsentrasi sitokinin ini akan menyebabkan sistem tunas membentuk cabang dalam jumlah yang lebih banyak. Interaksi antagonis ini umumnya juga terjadi di antara ZPT tumbuhan lainnya.

Peranan Sitokinin

Pengaturan pembelahan sel dan diferensiasi sel


Sitokinin, diproduksi dalam jaringan yang sedang tumbuh aktif, khususnya pada akar, embrio, dan buah. Sitokinin yang diproduksi di dalam akar, akan sampai ke jaringan yang dituju, dengan bergerak ke bagian atas tumbuhan di dalam cairan xylem.
Bekerja bersama-sama dengan auksin; sitokinin menstimulasi pembelahan sel dan mempengaruhi lintasan diferensiasi. Efek sitokinin terhadap pertumbuhan sel di dalam kultur jaringan, memberikan petunjuk tentang bagaimana jenis hormon ini berfungsi di dalam tumbuhan yang lengkap.
Ketika satu potongan jaringan parenkhim batang dikulturkan tanpa memakai sitokinin, maka selnya itu tumbuh menjadi besar tetapi tidak membelah. Sitokinin secara mandiri tidak mempunyai efek. Akan tetapi, apabila sitokinin itu ditambahkan bersama-sama dengan auksin, maka sel itu dapat membelah.

Pengaturan Dominansi Apikal 

Sitokinin, auksin, dan faktor lainnya berinteraksi dalam mengontrol dominasi apikal, yaitu suatu kemampuan dari tunas terminal untuk menekan perkembangan tunas aksilar. Sampai sekarang, hipotesis yang menerangkan regulasi hormonal pada dominansi apikal, yaitu hipotesis penghambatan secara langsung, menyatakan bahwa auksin dan sitokinin bekerja secara antagonistis dalam mengatur pertumbuhan tunas aksilari.
Berdasarkan atas pandangan ini, auksin yang ditransportasikan ke bawah tajuk dari tunas terminal, secara langsung menghambat pertumbuhan tunas aksilari. Hal ini menyebabkan tajuk tersebut menjadi memanjang dengan mengorbankan percabangan lateral.
Sitokinin yang masuk dari akar ke dalam sistem tajuk tumbuhan, akan melawan kerja auksin, dengan mengisyaratkan tunas aksilar untuk mulai tumbuh. Jadi rasio auksin dan sitokinin merupakan faktor kritis dalam mengontrol penghambatan tunas aksilar.
Banyak penelitian yang konsisten dengan hipotesis penghambatan langsung ini. Apabila tunas terminal yang merupakan sumber auksin utama dihilangkan, maka penghambatan tunas aksilar juga akan hilang dan tanaman menjadi menyemak. Aplikasi auksin pada permukaan potongan kecambah yang terpenggal, akan menekan kembali pertumbuhan tunas lateral. Mutan yang terlalu banyak memproduksi sitokinin, atau tumbuhan yang diberi sitokinin, juga bertendensi untuk lebih menyemak dibanding yang normal.

Efek Anti Penuaan

Sitokinin, dapat menahan penuaan beberapa organ tumbuhan, dengan menghambat pemecahan protein, dengan menstimulasi RNA dan sintesis protein, dan dengan memobilisasi nutrien dari jaringan di sekitarnya.
Apabila daun yang dibuang dari suatu tumbuhan dicelupkan ke dalam larutan sitokinin, maka daun itu akan tetap hijau lebih lama daripada biasanya. Sitokinin juga memperlambat deteorisasi daun pada tumbuhan utuh. Karena efek anti penuaan ini, para floris melakukan penyemprotan sitokinin untuk menjaga supaya bunga potong tetap segar.

Monday, 16 February 2015

TRICHODERMA SP SEBAGAI PUPUK BIOLOGIS DAN BIOFUNGISIDA

Ketergantungan kita terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan. Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam. Banyak mikroorganisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian lingkungan kita.
Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah dan biofungisida adalah jamur Trichoderma sp. Mikroorganisme ini adalah jamur penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman lapangan. Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. Harzianum, T. Viridae, dan T. Konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku sebagai biofungisida. Trichoderma sp dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, dll.
Sifat antagonis Trichoderma meliputi tiga tipe :
Trichoderma menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler beta (1,3) glukonase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel patogen
Beberapa anggota trichoderma sp menghasilkan toksin trichodermin. Toksin tersebut dapat menyerang dan menghancurkan propagul yang berisi spora-spora patogen disekitarnya
Jenis Trichoderma viridae menghasilkan antibiotik gliotoksin dan viridin yang dapat melindungi bibit tanaman dari serangan penyakit rebah kecambah
Pupuk biologis dan biofungisida Trichoderma sp dapat dibuat dengan inokulasi biakan murni pada media aplikatif, misalnya dedak. Sedangkan biakan murni dapat dibuat melalui isolasi dari perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada media PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi banyak dilakukan oleh kalangan peneliti maupun produsen pupuk, tetapi masih terlalu merepotkan untuk diadopsi oleh petani. Sebagai petani, untuk lebih efisiennya dapat memproduksi pupuk biologis yang siap aplikasi saja, sehingga hanya perlu membeli dan memperbanyak sendiri biakan murninya dan diinokulasikan pada media aplikatif. Atau jika menginginkan kepraktisan dapat membeli pupuk yang siap tebar untuk setiap kali aplikasi.
Dari beberapa literatur yang pernah saya baca dengan penambahan pupuk biologis Trichoderma sp akan meningkatkan efisiensi pemupupukan. Pada tanah yang tandus pemberian pupuk organik Trichoderma sp dan pupuk kimia secara bersamaan akan memberikan hasil yang maksimal daripada pemberian pupuk organik atau pupuk kimia secara terpisah walaupun dengan jumlah yang banyak. Dengan pemberian pupuk organik akan menghemat penggunaan pupuk kimia.
Seringkali penyakit layu dan busuk pangkal batang pada tanaman disebabkan oleh jamur fusarium dan sulit dikendalikan dengan fungisida kimia. Oleh karena itu tidak ada salahnya kita mencoba mengaplikasikan pupuk biologis dan biofungisida Trichoderma sp pada tanaman kita untuk mencegah penyakit akar dan busuk pangkal batang yang dapat menyebabkan layu tanaman.

Aplikasi Azospirillum di Bidang Pertanian

Aplikasi Azosprillum dibidang pertanian masih sangat terbatas. Di banyak Negara aplikasiAzospirillum masih dalam skala kecil . Namun demikian, di beberapa negara di Amerika Latin, Azospirillum telah mulai digunakan secara komersial dan dalam skala yang luas. Berikut Bashan dan Holguin (1997) dan Reis et al. (2011) menjelaskan perkembangan aplikasi Azospirillum di beberapa belahan dunia, Inokulum Azospirillum generasi pertama dalam skala kecil diintroduksi secara perlahan kepada pasar pertanian. Faktor utama yang menghalangi introduksi Azospirillum dalam skala besar adalah hasil yang tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi. Kelemahan ini telah diketahui sejak awal dari aplikasi Azospirillum dan menyurutkan minat dari pengguna komersial. Dua puluh
tahun evaluasi dari data percobaan lapangan menunjukkan bahwa 60 – 70 % dari seluruh percobaan berhasil dengan peningkatan hasil yang nyata, berkisar antara 5 sampai 30%. Faktor keberhasilan utama adalah aplikasi sel hidup secara hati-hati dan perawatan percobaan dengan benar. Sel-sel bakteri haruslah diambil dari fase eksponen, bukan dari inokulum pada fase stasioner. Walaupun, inokulasi lapangan belum menjadi area utama dari penelitian Azospirillum saat ini, beberapa percobaan lapangan dan rumah kaca akhir-akhir ini, khususnya pada sereal, sekali lagi menunjukkan potensial yang menjanjikan (Bashan dan Holguin, 1997). Menurut Reis et al. (2011) pemanfaatan bakteri sebagai produk inokulum merupakan tujuan yang ideal, berdasarkan penampilan inokulan Rhizobium, khususnya di Brasil, di mana 100 persen produksi menggunakan bakteri dan bukan pupuk untuk mendapatkan 100 persen N yang dibutuhkan bagi hara tanaman. Setelah percobaan yang begitu lama, mengisolasi dan mendeskripsi Azospirillum, akhirnya beberapa upaya juga dilakukan untuk mendapatkan produk komersial yang menggunakan bakteri ini. Teknologi ini juga didasarkan pada produk Rhizobium yang diaplikasikan pada penyelubung benih dalam campuran dengan peat atau menggunakan bermacam formulasi larutan yang berbeda. Pada mulanya, hanya A. brasilense dipilih sebagai inokulan. Di Amerika Serikat, satu produk yang disebut Azo-GreenTM, yang diproduksi oleh perusahaan yang bernama Genesis Turfs Forages, direkomendasikan diberikan pada benih untuk meningkatkan perkecambahan, sistem akar, tahan kekeringan, dan kesehatan tanaman. Di Italia, Jerman, dan Belgia, produk lain yang mengandung campuran A. brasilense (strain Cd) dan A. lipoferum (strain Br17) diformulasikan dalam campuran vermikulit atau formula larutan. Nama komersialnya adalah Zea-NitTM dan diproduksi oleh Heligenetics dan mereka merekomendasikan pengurangan 30 – 40 % pupuk N bagi tanaman. Di Prancis, AzoGreenTM lain digunakan pada jagung dengan kenaikan hasil 100%. Di Meksiko, satu produk yang bernama “Fertilizer for Maize” dikembangkan oleh Universitas Puebla dan diaplikasikan pada 5000 ha lahan pada tahun 1993. Lebih baru lagi, pada tahun 2008, produk inokulan lain yang berbasis Azospirillum dikembangkan untuk tanaman kopi di Meksiko dan aplikasinya menunjukkan adanya penurunan waktu siklus penologi tanaman. Uruguay juga mempunyai produk yang diberi nama GraminanteTM yang dikomersialkan dalam bentuk tepung yang dicampur dengan kalsium karbonat. Terkait dengan spesies dan strain bakteri yang digunakan, yang berbeda di tiap Negara, pertanyaannya mengapa spesies tersebut merupakan yang terbaik?. Hasil evaluasi ternyata bahwa kedua spesies dan strain yang digunakan menunjukkan hasil yang negatif pada produksi siderophore dan pelarut fosfat. Hasil positif ada produksi fitohormon IAA, sitokinin (zeatin), GA3, etilen, putrescine, spermidin, spermin, dan cadaverin. Kenyataan ini memiliki implikasi teknologi yang penting terhadap formulasi inokulan, karena strain yang berbeda menghasilkan konsentrasi zat pertumbuhan tanaman (ZPT) yang berbeda. Selain itu, penting juga untuk mempertahankan kualitas inokulan agar memberikan kolonisasi atau invasi akar yang efisien. Penting untuk menyesuaikan densitas sel (minimum 109 per gram) hidup, bebas kontaminan, dan secara agronomi terbukti strain yang diberikan mampu memberikan hasil tanpa atau dengan dosis rendah pupuk nitrogen atau meningkatkan hasil bersama pupuk nitrogen.
Pada tahun 2009, satu perusahaan di Brasil menjual produk berbahan Azospirillum untuk diaplikasikan pada jagung dan padi. Di Argentina, ada beberapa perusahaan yang menghasilkan dan menjual inokulan berbahan A. brasilense yang diaplikasikan dalam bentuk solid (tepung) atau formula cair pada tanaman komersial yang berbeda (seperti padi, jagung, gandum, bunga matahari, sorgum, dsb.). Sekarang ini, dengan realitas untuk menghasilkan lebih banyak pangan dengan biaya yang lebih sedikit, dan tanpa polusi lingkungan, maka pemupukan dengan pupuk hayati merupakan alternatif bagi pertanian yang berkelanjutan. Walaupun keuntungan dari inokulasi dengan Azospirillum sp. telah dijelaskan panjang lebar, upaya untuk mengisolasi strain baru dan mengevaluasi karakteristik terhadap pemacu pertumbuhan tanaman dalam lingkungan yang alami haruslah terus dilakukan untuk mendukung penggunaannya di bidang pertanian sebagai inokulan atau pupuk hayati.

Interaksi Azospirillum dengan Bahan Organik

Menurut Bashan (1999), bahan organik memberikan pengaruh yang beragam terhadapAzospirillum, bisa positif, tapi juga bisa negatif. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa amandemen tanah dengan bahan organik meningkatkan serapan dan daya hidup Azospirillum spp. Akan tetapi, ada juga bukti di lapangan bahwa pengaruh bahan organik terhadap Azospirillum spp. di dalam tanah kontradiktif dengan hasil penemuan di laboratorium. Di India, pemberian bahan organik pada tanah kebun hanya mendukung populasi A. brasilense secara terbatas. Pada penelitian lain, pemberian bahan organik pada tanah dan arang awalnya saja meningkatkan populasi A. brasilense spp., tetapi populasinya kemudian menurun ke taraf yang setara dengan tanpa bahan organis. Di Amerika Serikat, daya hidupA. brasilense dalam bahan pembawa peat dan pasir dimonitor dengan seksama. Hasilnya, awalnya populasi menurun, kemudian populasinya tetap stabil selama 60 hari. Bahan pembawa dengan kandungan peat tertinggi (1-3%) memiliki populasi A. brasilense tertinggi. Di India, penambahan jerami padi pada tanah sawah meningkatkan Azospirillum spp. Bashan dan Vazquez (2000) menemukan bahwa, sementara CaCO3 dan pasir berpengaruh negatif, bahan organik memiliki pengaruh positif terhadap daya hidup Azospirillum spp. Namun demikian secara umum, bahan organik memberikan pengaruh yang baik bagi daya hidup dan persistensi Azospirillum dalam tanah. Teori terhadap pengaruh negatif bahan organik bisa jadi bahwa pada bahan organik konsentrasi tinggi, total jumlah bakteri dalam tanah telah mencapai 107 – 108 spk per g sehingga bakteri lain berkompetisi denganAzospirillum yang diinokulasi dalam tanah. Penjelasan lain, bahan organik mungkin telah memberikan hara yang cukup banyak pada tanaman sehingga pengaruh inokulasi bakteri menjadi tertutupi.

Koinokulasi Azospirillum dengan mikroorganisme lain

Azospirillum dapat bersinergi dengan mikroorganisme lain. Koinokulasi didasarkan pada campuran inokulan berupa kombinasi beberapa mikroorganisme yang berinteraksi secara sinergi, atau ketika Azospirillum berfungsi sebagai bakteri “pembantu” untuk memperkuat penampilan mikroorganisme berguna lainnya. Azospirillum dapat berasosiasi dengan bakteri perombak gula atau polisakarida. Kokultur dapat dianggap sebagai suatu asosiasi metabolik di mana bakteri perombak gula menghasilkan produk rombakan atau fermentasi yang dapat digunakan oleh Azospirillum. Pada kokultur Bacillus dan Azospirillum, rombakan pektin oleh Bacillus dan fiksasi N2 olehAzospirillum menjadi meningkat. Kokultur A. brasilense dengan Enterobacter cloaceae atauA. brasilense dengan Arthrobacter giacomelloi menghasilkan fiksasi N2 yang lebih efisien dibanding bila mereka sendiri-sendiri. Ketika Azospirillum sp DN64 dikoinokulasi dengan campuran jamur selulotik, aktivitas nitrogenasenya meningkat 22 kali lipat Dual inokulasi tanaman legum dengan Azospirillum dan Rhizobium ditemukan meningkatkan beberapa peubah pertumbuhan tanaman dibanding dengan inokulasi tunggal.Azospirillum dianggap sebagai pembantu Rhizobium dengan cara menstimulasi nodulasi, fungsi nodulasi, dan kemungkinan metabolisme tanaman. Fitohormon yang dihasilkan olehAzospirillum memacu diferensiasi sel epidermis pada rambut akar yang kemudian meningkatkan jumlah tempat-tempat yang
berpotensi bagi infeksi Rhizobium. Hasilnya, lebih banyak nodul terbentuk. Pada percobaan lapangan, inokulasi kultur campuranAzospirillum dengan Rhizobium secara nyata meningkatkan jumlah total nodul, berat kering nodul, dan jerami, serta memberikan peningkatan hasil biji. Interaksi ini lebih jauh diperkuat oleh adanya bahan organik pada media tumbuh tanaman (Cassa´n, 2011).

Mekanisme Azospirillum dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman

Mekanisme pertama yang diusulkan terhadap pemacuan pertumbuhan tanaman olehAzospirillum hampir sepenuhnya terkait dengan status nitrogen dalam tanaman, melalui fiksasi biologi atau aktivitas enzim reduktase nitrat. Akan tetapi, mekanisme ini kenyataannya kurang berarti dari sisi agronomi dari yang pernah diharapkan. Dengan demikian, mekanisme lain telah dipelajari dan diusulkan untuk genus mikroba ini, antara lain produksi siderophore, pelarutan fosfat, biokontrol fitopatogen, dan proteksi tanaman terhadap cekaman, seperti salinitas tanah, atau senyawa beracun.
Bashan dan Hulguin (1997) mengusulkan hipotesis aditif terhadap mekanisme Azospirillumdalam memacu pertumbuhan tanaman. Mereka menyatakan bahwa kemungkinan lebih dari satu mekanisme yang terlibat pada waktu yang sama. Sebagai contoh, fiksasi N2 berkontribusi kurang dari 5% dari pengaruh Azospirillum pada tanaman. Ini tidak dapat menjelaskan secara penuh peningkatan hasil tanaman. Ketika dikombinasikan dengan pengaruh mekanisme lainnya, kontribusi yang kecil ini dapat menjadi kontribusi yang berarti. Dengan demikian, aktivitas gabungan dari semua mekanisme yang terlibat bertanggung jawab bagi pengaruh yang besar dari inokulasi Azospirillum pada pertumbuhan tanaman. Reis et al. (2011) menyatakan bahwa Azospirillum spp mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui banyak mekanisme. Ini termasuk fiksasi N2, produksi fitohormon (seperti auksin, sitokinin, dan giberelin), peningkatan penyerapan hara, peningkatan ketahanan cekaman, produksi vitamin, siderophore dan biokontrol, serta pelarutan P. Namun demikian, salah satu mekanisme yang paling penting adalah kemampuanAzospirillum menghasilkan fitohormon dan ZPT lainnya. Salah satu mekanisme utama yang diusulkan untuk menjelaskan “hipotesis aditif” adalah terkait dengan kemampuanAzospirillum sp. menghasilkan senyawa-senyawa seperti fitohormon. Telah dikenal bahwa sekitar 80% bakteri yang diisolasi dari rhizosfer tanaman mampu memproduksi senyawa IAA. Kemudian, diusulkan bahwa Azospirillum sp. dapat memacu pertumbuhan tanaman melalui ekskresi fitohormon. Saat ini, kita tahu bahwa bakteri ini mampu menghasilkan senyawa-senyawa kimia seperti auksin, sitokinin, giberelin, etilen, dan ZPT lainnya seperti ABA, poliamin (spermidin, spermin, dan cadaverin) dan nitrat oksida (Cassa’n et al., 2011). Fiksasi nitrogen adalah mekanisme pertama yang diusulkan untuk menjelaskan peningkatan pertumbuhan tanaman setelah diinokulasi dengan Azospirillum. Ini terutama karena ada peningkatan sejumlah senyawa nitrogen dan aktivitas enzim nitrogenase pada tanaman yang diinokulasi dengan Azospirillum. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, penelitian menunjukkan bahwa kontribusi fiksasi N2 oleh Azospirillum terhadap tanaman sedikit sekali, berkisar antara 5 sampai 18% dari total peningkatan tanaman. Secara umum, kontribusinya kurang dari 5%. Azospirillum mutan-Nif juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sama dengan tipe liarnya. Penemuan ini hampir saja membuat orang meninggalkan aspek fiksasi N2 ini dari Azospirillum, kecuali hanya untuk kajian genetik murni. Akhir-akhir ini, interes terhadap kajian Azospirillum pada aspek fiksasi N2 mulai meningkat. Ditemukan bahwa A. brasilense Sp-7 tidak menyintesis enzim nitrogenase pada suhu 42⁰C dan juga enzim ini tidak stabil pada suhu tersebut. Akan tetapi, pada A. brasilense Sp-9, aktivitas enzim nitrogenase stabil dan menunjukkan aktivitas asetilen reduksi tertinggi pada suhu 42⁰C. Aktivitas enzim nitrogenase Azospirillum ditemukan meningkat ketika ditumbuhkan dalam kultur campuran dengan bakteri lainnya, kendatipun mereka berasal dari habitat yang sangat berbeda. Contoh kasus adalah campuran A. brasilense Cd dengan bakteri Staphylococcus sp. yang meningkatkan fiksasi N2 dari A. brasilense. Pengaruhnya lebih kuat ketika supernatan Staphylococcus ditambahkan pada kultur A. brasilense. Pada kajian lain, fiksasi N2 dari A. brasilense Sp-245 diperkuat oleh penambahan aglutinin kecambah gandum.
Bashan dan Holguin (1997) menyatakan bahwa Azospirillum bisa jadi mempengaruhi tanaman dengan cara memberikan signal kepada tanaman inang. Adanya kenyataan bahwaAzospirillum mempengaruhi metabolisme sel tanaman dari luar sel mengindikasikan bahwa bakteri ini mampu mengekskresi dan memancarkan signal yang melewati dinding sel tanaman dan ditangkap oleh membran tanaman. Interaksi ini menginisiasi rantai peristiwa yang menghasilkan perubahan metabolisme pada tanaman yang diinokulasi. Karena membran tanaman sangat sensitif terhadap perubahan, maka responsnya dapat menjadi petunjuk akan adanya kegiatan Azospirillum pada tingkat seluler. Selain itu, meningkatnya penyerapan hara mineral pada tanaman sebagai akibat dari inokulasi Azospirillum juga merupakan penjelasan yang populer bagi pengaruh inokulasi pada tahun 1980an. Kendatipun, beberapa kajian ada yang menunjukkan akumulasi nitrogen dan hara mineral lainnya pada tanaman yang diinokulasi, tetapi sebagian penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman tidak mesti karena peningkatan penyerapan hara. Pada saat ini, jalan penjelasan ini agak kurang berkembang. Azospirillum dapat juga berperan sebagai agen biokontrol terhadap patogen tanaman dalam tanah. Ada beberapa bukti yang mendukungnya. Azospirillum lipoferum M menghasilkan catechol siderophores pada kondisi kekurangan besi, yang menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap beberapa isolat bakteri dan jamur. Contoh lain, dua puluh isolatAzospirillum ditemukan menghasilkan bakteriosin yang menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Namun demikian, ada juga penelitian yang melaporkan bahwa beberapa strain Azospirillum tidak menghasilkan senyawa anti patogen.

Perilaku Azospirillum

Pertama sekali, bakteri ini mengolonisasi rhizosfer. Pelekatan pada sistem akar dimediasi oleh flagella dan setelah beberapa lama diikuti oleh penyatuan yang tidak dapat balik. Gambar 1 memperlihatkan model kolonisasi yang diusulkan oleh Steenhoudt and Vanderleyden. Flagella lateral tidak esensial pada fase penyerapan proses kolonisasi. Akan tetapi, bagaimanakah prilaku populasi bakteri pada sistem akar tanam ? masih tanda tanya. Apakah quorum sensing (QS) terlibat dalam proses? QS pernah terlihat mengatur pergerakan pada bermacam bakteri, khususnya Serratia (Reis et al., 2011) Pelekatan yang kuat dari Azospirillum pada akar tanaman merupakan faktor penting bagi asosiasi jangka panjang dengan akar tanaman. Ini dikarenakan tiga hal. Pertama, jika bakteri tidak melekat pada sel epidermis akar, maka senyawa-senyawa yang diekskresi oleh bakteri akan berdifusi ke daerah rhizosfer dan nutrisinya dikonsumsi oleh mikroorganisme lainnya sebelum mencapai tanaman. Ketika bakteri melekat pada akar, maka sebagian dari senyawa-senyawa tersebut akan berdifusi ke dalam ruang interseluler korteks akar. Kedua, tanpa pelekatan yang kuat, air dapat mengangkut bakteri sehingga menjauh dari daerah rhizosplan dan hidup sekarat di lingkungan tanah yang miskin unsur hara. Azospirillum pada umumnya hidup menderita pada kebanyakan tanah tanpa tanaman inang. Ketiga, daerah asosiasi pada akar tanpa Azospirillum melekat kuat menjadi rentan dari koloni lain yang agresif yang mungkin merugikan (Bashan dan Holguin, 1997). Belakangan diketaui bahwa sel-sel Azospirillum tidak terpencar oleh air perkolasi, tetapi terjerap ke dalam partikel tanah. Pada tanah jenuh air tanpa tanaman, Azospirillum tetap berada pada daerah inokulasi dan tidak bergerak. Oleh karenanya, masuk akal untuk berasumsi bahwa ada mekanisme penyebaran bakteri lain yang efisien, misalnya kemotaksis (Bashan dan Holguin, 1997). Gambar 1. Azospirillum melekat pada akar tanaman (Bashan dan Holguin, 1997). Pada kondisi tercekam, bakteri ini mampu membentuk cyst dan floc (agregat makro). Kedua bentuk tersebut meningkatkan daya hidup bakteri. Fenomena ini dapat terjadi akibat umur, kondisi kultur, metal beracun, atau cekaman air. Bentuk cyst Azospirillum brasilensis, yang awalnya dianggap dorman, dijumpai secara fisiologis aktif. Cyst ini mampu mengikat nitrogen tanpa kehadiran sumber karbon luar. Pada kultur yang terus menerus dan kondisi anaerobik, sel cyst Azospirillum brasilense SP-7 dan Sp-245 memperlihatkan aktivitas enzim nitrat reduktase (Cassa´n, 2011).